A. Sejarah NU
Nahdlatul Ulama (kebangkitan ulama atau kebangkitan
cendikiawan Islam) disingkat NU adalah sebuah organisasi Islam yang besar di
Indonesia. Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang
pendidikan, sosial, dan ekonomi.
Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang
dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi,
telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa
ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1928 tersebut
dikenal dengan “Kebangkitan Nasional”. Semangat kebangkitan memang terus
menyebar ke mana-mana –setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan
ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai
organisasi pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan
kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan Membentuk
organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada
1916. Kemudian pada tahun 1918 Didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga
dengan “Nahdlatul Fikri” (kebangkitan pemikiran), Sebagai wahana pendidikan
sosial politik kaum dan Keagamaan kaum santri. Didirikan Kemudian dan situ
Nalidlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat ini dijadikan basis
untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka
Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga
pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Suatu waktu Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal
yakni mazhab Wahabi di Mekkah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan
sejarah Islam maupun pra Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena
dianggap bid'ah. Gagasan kaum Wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dan kaum
modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah maupun PSII di bawah pimpinan
HOS Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela
keberagaman, menolak pembatasan bermazhab dan penghancuran warisan peradaban
tersebut.
Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren
dikeluarkan dari anggota Kongres Al-Islam di Yogyakarta pada tahun 1925.
Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan dalam delegasi sebagai Mu’tamar
‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekkah yang akan mengesahkan
keputusan tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa KH. Hasyim Asy’ari, KH Wahab
Hasbullah dan sesepuh NU lainnya berjalan keluar membuat delegasi sendiri yang
dinamakan Komite Hejaz, yang diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah.
Didorong oleh umatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan
bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan
pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hejaz, yang
diketuai oleh KH Wahab Hasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite
Hejaz, dan tantangan dan segala penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu
Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di Mekkah bebas dilaksanakan
ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing. Peran itulah internasional
kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermazhab
dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah dan peradaban yang sangat
berharga.
Komite Berangkan dan berbagai organisasi yang bersifat
embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi
yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan
zaman. Maka setelah berkoordinasi dengan berbagai kyai, akhirnya muncul
kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama
(Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini
dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar.
Untuk menegaskan prinsip dasar organisasi ini, maka KH.
Hasyim Asy’ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga
merumuskan kitab I’tiqad Ahlussunnah wal Jamaah. Kedua kitab tersebut, kemudian
diejawantahkan dalam Khittah NU, yang dijadikan dasar dan rujukan sebagai warga
NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan po1itik.
B. Paham Keagamaan
NU menganut paham Ahlussunah wal Jama’ah, sebuah pola pikir
yang banteng jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim
naqh (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya
al-Quur’an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan
realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu
seperti Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi.
Kemudian dalam bidang fikih mengikuti satu mazhab: Syafi’i meskipun tiga
madzhab mengakui yang lain: Hanafi, Maliki, Hambali, sebagaimana yang tergambar
dalam lambang NU Berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf,
mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan
antara tasawuf dengan syari’at.
Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan
momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran Ahlussunnah wal Jamaah, serta
merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial.
Merumuskan kembali serta hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil
kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.
Sayang, dalam waktu cukup lama, kekayaan intelektual yang
dimiliki NU itu tidak mengalami perkembangan signifikan. Akibatnya, NU dengan
berbagai tradisi dan lembaga pendidikannya (pesantren) hanya menjadi semacam
“dapur pengawet” ilmu. ilmu keislaman. Tidak ada upaya serius untuk
merevitalisasi, apalagi melakukan transformasi terhadap khazanah itu. Hal ini
bisa dipahami karena ulama NU umumnya mempunyai pengetahuan keagamaan yang
hampir seragam, baik di bidang teologi, tasawuf maupun fikih.
Sumber pengetahuan yang digunakan, baik dalam arti genealogi
intelektual maupun kitab-kitab yang menjadi rujukan, juga dapat dikatakan sama
sehingga belum terjadi apa yang disebut “diversifikasi pengetahuan”. Dalam
situasi demikian bisa dipahami jika pada masa- masa mi para pengamat tidak
begitu tertarik dengan NU, akibatnya, hingga awal 1990-an kita masih sulit
menemukan karya berbobot mengenai NU. Bila orang melihat NU paling-paling hanya
gemuruh politik yang tampak di permukaan, sedangkan hasil pemikirannya hampir-.
hampir tidak dilirik orang. Singkatnya, hingga paruh kedua 1980-an, NU tidak
mempunyai pesona.
Pertanyaan yang muncul, mengapa dalam waktu yang panjang
(sejak tahun kelahiran NU sampai paruh kedua 1980an) perkembangan
intelektualisme NU hampir-hampir tidak bergerak, bahkan mereka menjadi “palang
pintu” penjaga ortodoksi? Pertanyaan ini dapat dijawab dan berbagai perspektif.
Pertama, dalam waktu panjang di kalangan NU belum terjadi
mobilisasi intelektual dalam arti belum banyak warga NU terpelajar yang
menempuh pendidikan tinggi.
Kedua, akibat dan hal pertama, genealogi intelektual ulama
NU juga hampir seragam, belum terjadi variasi dan diversifikasi sumber
keilmuan. Hal ini bukan berarti ulama NU selalu mempunyai pandangan yang sama
mengenai suatu masalah. Meski genealogi intelektualnya relatif sama, ekspresi
di tingkat personal sering berbeda, bahkan bertentangan antara satu dengan
lain.
C. Dasar Pendukung
Dalam menentukan dasar pendukung atau warga NU ada beberapa
istilah yang perlu diperjelas, yaitu anggota, simpatisan atau pendukung dan
Muslim tradisionalis yang sepaham dengan NU. Jika istilah warga disamakan
dengan istilah anggota, maka sampai hari ini tidak ada satu dokumen resmi pun
yang bisa dirujuk untuk itu. Karena sampai hari ini tidak ada tumbuh Upaya
serius di NU di tingkat apapun untuk mengelola keanggotaannya. Dari segi
pendukung atau simpatisan ada dua cara melihatnya. Dari segi politik, ini bisa
dilihat dan jumlah perolehan suara partai-partai yang berbasis atau
diasosiasikan dengan NU, seperti PKBU, PNU, PKU, Partai Suni, dan sebagian dari
PPP. Dari segi keagamaan paham maka bisa dilihat dari jumlah orang yang
mendukung dan mengikuti paham keagamaan NU. Maka dalam hal ini bisa dirujuk
hasil penelitian Saiful Mujani (2002) yaitu berkisar 48% dan muslim santri
Indonesia. Suaidi Asyari (Nalar Politik NU & Muhammadiyah, 2009)
memperkirakan ada sekitar 51 juta dari Muslim santri dapat dikatakan pendukung
Indonesia, pengikut paham atau keagamaan NU. Sedangkan jumlah santri yang
disebut Muslim sampai 80 juta atau lebih merupakan mereka paham keagamaannya
yang sama dengan paham keagamaan NU. Belum tentu mereka ini semuanya warga mau
disebut atau berafiliasi dengan NU. Mayoritas pengikut NU terdapat di pulau
DKI, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatra. Perkembangan terakhir pengikut NU
mempunyai beragam profesi yang sebagian besar dari mereka adalah rakyat jelata,
baik di kota maupun di desa. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi karena
secara sosial ekonomi memiliki masalah yang sama, selama itu mereka juga sangat
menjiwai ajaran Ahlususunnah wal Jamaah. Pada umumnnya mereka memiliki ikatan
cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan
cagar budaya NU.
Basis pendukung NU ini mengalami pergeseran, sejalan dengan
pembangunan dan perkembangan industrialisasi, maka penduduk NU di desa banyak
yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Maka kalau selama ini basis
NU lebih kuat di sektor petani di pedesaan, maka saat di sektor buruh di
perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem
pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan
cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini. Belakangan ini NU sudah
memiliki sejumlah Doktor atau Master dalam berbagai bidang ilmu selain dari
ilmu ke-Islam-an baik dan dalam maupun luar negeri, termasuk negara-negara
Barat. Hanya saja para Doktor dan Master ini belum dimanfaatkan secara maksimal
oleh para pengurus NU hampir di setiap lapisan kepengurusan NU.
NU di kabupaten Temanggung bermula dan para pengikut Toriqoh
Naqshabandiyah yang berpusat di Sokaraja Banyumas. Kebetulan Temanggung
termasuk wilayah Banyumas konsul yang diketuai oleh Raden Muhtar. Kota Parakan
mulanya dijadikan badal mengingat cabang toriqoh Sukaraja berpusat di Parakan.
D. Tujuan dan Usaha Organisasi
1. Tujuan Organisasi
Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah wal Jamaah
di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
2. Usaha Organisasi
a. Di bidang agama,
melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak
pada semangat persatuan dalam perbedaan.
b. Di bidang pendidikan,
menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk
membentuk Muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas. Hal ini terbukti
dengan lahirnya lembaga-lembaga pendidikan yang bernuansa NU dan sudah tersebar
di berbagai daerah khususnya di pulau DKI.
c. Di bidang sosial
budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan
nilai keislaman dan kemanusiaan.
d. Di bidang ekonomi,
mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan
berkembangnya ekonomi mengutamakan rakyat. Hal ini ditandai dengan lahirnya BMT
dan Badan Keuangan lain yang telah terbukti membantu masyarakat.
e. Mengembangkan usaha
lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan menjadi
yang terbaik bagi masyarakat.
E. Struktur Organisasi
Pengurus Besar (tingkat Pusat)
Pengurus Wilayah (tingkat Propinsi)
Pengurus Cabang (tingkat Kabupaten / Kota) atau Pengurus
Cabang Istimewa untuk kepengurusan di luar negeri.
Pengurus Majelis Wakil Cabang / MWC (tingkat Kecamatan)
Pengurus Ranting (tingkat Desa / Kelurahan)
Untuk Pusat, Wilayah, Cabang, dan Majelis Wakil Cabang, setiap
kepengurusan, terdiri dari:
1. Mustayar (Penasihat)
2. Syuriyah (Pimpinan
Tertinggi)
3. Tanfidziyah (Pelaksana
Harian)
4. Untuk Ranting, setiap
kepengurusan terdiri dari:
5. Syuriyah (Pimpinan
Tertinggi)
6. Tanfidziyah (Pelaksana
Harian)
Daftar Pimpinan Nahdlatul Ulama:
Berikut ini adalah daftar Ketua Rais Aam (Pimpinan
Tertinggi) Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama:
1. KH. Mohammad Hasyim
Asy’arie, 1 926 – 1947.
2. KH. Abdul Wahab Chasbullah,
1947 – 1971.
3. KH. Bisri Syansuri, 1972 –
1980.
4. KH. Muhammad Ali Maksum,
1980 – 1984.
5. KH. Achmad Siddiq Muhammad
Hasan, 1984 – 1991.
6. KH. Ali Yafie (pjs), 1991 –
1992.
7. KH. Muhammad Ilyas Ruhiat,
1992 – 1999.
8. KH. Muhammad Ahmad Sahal
Mahfudz, 1999 – sekarang.
Jaringan Organisasi
Hingga akhir tahun 2000, jaringan organisasi NU meliputi:
33 Wilayah,
439 Cabang,
15 Cabang Istimewa yang berada di luar negeri,
5.450 Majelis Wakil Cabang / MWC,
47.125 Ranting.
F. NU dan Politik
Pertama kali NU terjun pada politik praktis pada saat
menyatakan memisahkan diri dengan Masyumi pada tahun 1952 dan kemudian
mengikuti Pemilu 1955. NU cukup berhasil dengan meraih 45 kursi DPR dan 91
kursi Konstituante. Pada masa Demokrasi Terpimpin NU dikenal sebagai partai
yang mendukung Sukarno. Setelah PKI memberontak, NU tampil sebagai salah satu
golongan yang aktif menekan PKI, terutama lewat sayap pemudanya GP Anshor.
NU Kemudian menggabungkan diri dengan Partai Persatuan
Pembangunan pada tanggal 5 Januari 1973 atas desakan penguasa Orde Baru.
Mengikuti Pemilu 1977 dan 1982 bersama PPP. Pada Muktamar NU di Situbondo, NU
menyatakan diri untuk ‘Kembali ke Khittah 1926’ yaitu untuk tidak lagi
berpolitik praktis.
Namun setelah reformasi 1998, muncul partai-partai yang
mengatasnamakan NU. Yang terpenting adalah Partai Kebangkitan Bangsa yang
dideklarasikan oleh Abdurrahman Wahid. Pada Pemilu 1999 PKB memperoleh 51 kursi
DPR dan Bahkan bisa mengantarkan Abdurrahman Wahid Sebagai Presiden RI. Pada
Pemilu 2004, PKB memperoleh 52 kursi DPR.
G. Perkembangan NU
Perkembangan kontemporer pemikiran keagamaan (Islam) dalam
komunitas NU menunjukkan fenomena yang menarik, terutama yang digalang kader
mudanya. Mereka mempunyai gagasan keagamaan progresif dalam merespons
modernitas dengan menggunakan basis pengetahuan tradisional yang mereka miliki
setelah dipersentuhkan dengan pengetahuan baru dan berbagai khazanah modern.
Mereka tidak hanya concern dengan modernitas yang terus
dikritik dan disikapi secara hati-hati, tetapi juga melakukan revitalisasi
tradisi. Proses revitalisasi tradisi yang mereka lakukan tidak sekadar
mengagung-agungkan dan mensakralkan tradisi, tetapi juga melakukan kritik
secara mendalam atas tradisinya sendiri, baik yang berkaitan dengan perilaku
maupun pemikiran. Bahkan, sendi-sendi doktrinnya sendiri seperti doktrin ahl
al-sunnah wa al-jamâ’ah tidak lepas dan sasaran kritisismenya. Pikiran dan
sikap mereka secara umum jauh lebih responsif dibanding seniornya dalam
menghadapi modernitas.
Munculnya gairah barn intelektualisme NU tidak lepas dan
keputusan NU meninggalkan hiruk-pikuk kehidupan politik praktis dengan konsep
kembali ke khitah 1926 pada 1984. Dengan keputusan itu, warga dan elite NU
tidak lagi disibukkan urusan-urusan politik praktis sehingga mempunyai waktu
lebih banyak untuk memperhatikan masalah pendidikan. Selah itu, terpilihnya
Kyai Achmad Siddiq sebagai Rais ‘Aam Syuriyah dan Abdurrahman Wahid sebagai
Ketua Umum Tanfiziyah PB NU pada Muktamar di Situbondo tahun 1984 mempunyai
pengaruh signifikan perkembangan pemikiran keagamaan NU.
Dalam konteks inilah, Muktamar Pemikiran Islam di NU
mempunyai makna yang strategis untuk terus menjadikan NU sebagai eksemplar
gerakan intelektual, bukan semata-mata sebagai gerakan politik.
Komunitas NU dikenal sebagai masyarakat “tradisional”.
Tradisionalisme itu di satu pihak merupakan hambatan perkembangan NU, di pihak
lain hal itu sekaligus merupakan modal sosial-intelektual dan kekuatan bagi NU.
Artinya, apa pun upaya yang dilakukan untuk “mengubah wajah NU” harus berangkat
dari realitas masyarakat NU sendiri. Tradisionalisme itu biasanya ditandai
beberapa hal. Pertama, komunitas ini sebagian besar tinggal di pedesaan, meski
belakangan terjadi mobilitas vertikal di kalangan elite pedesaan ini, terutama
kalangan muda NU terpelajar. Mereka tidak lagi tinggal di pedesaan, tetapi
mulai menjadi agen-agen perubahan di perkotaan. Meski demikian, sebagian besar
warga NU tetap tinggal di pedesaan dengan karakternya sendiri. Salah satu karakter
pedesaan adalah kurang dinamis, sulit melakukan perubahan, dan lebih bersifat
defensif terhadap modernitas.
Kedua, NU mempunyai dasar-dasar dan kekayaan intelektual
yang senantiasa diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui
lembaga pesantren. Karena kekayaan itu sehingga menjadikan NU amat apresiatif
terhadap pemikiran lama meski oleh kalangan tertentu diklaim sebagai bid’ah dan
khurafat. Dengan kaidah al-muhâfazah ‘ala al-qadim al-shâlih wa al-akhzu bi
al-jadId al-ashlãh (memelihara [hazanah] lama yang baik dan mengambil sesuatu
yang baru yang lebih baik), kekayaan intelektualisme ini terbentang mulai zaman
Nabi Muhammad, zaman klasik, pertengahan hingga zaman modern. Khazanah ini
merupakan modal kultural-intelektual yang luar biasa bagi NU untuk
berdialektika dengan modernitas.
Ketiga, NU mempunyai lembaga pendidikan yang cukup mapan
sebagai basis transmisi keilmuan, yaitu pesantren. Dengan berbagai kekhasan dan
subkulturnya, pesantren terbukti mampu bertahan dalam masyarakat yang terus
berubah. Meski banyak kritik yang ditujukan kepada lembaga pendidikan
tradisional ini, seperti kepemimpinan kyai yang amat kharismatik, tidak
menumbuhkan kritisisme santri, pengajarannya tidak terprogram dan sebagainya,
pesantren mempunyai kekuatannya sendiri berupa “nilai” yang tidak dimiliki
lembaga lain.